Selasa, 11 Desember 2012

Cerpen Roman Satya dan Tisa




 
Cinta adalah kata yang sederhana. Tapi rasa yang ada didalamnya sangat tidak sederhana.

Banyak sekali kisah mengenai cinta. Dan aku belajar banyak dari kisah-kisah yang telah kulihat. Terkadang tulisan-tulisan dari setiap orang yang telah melalui kisah cintanya sedikit banyak telah berhasil mempengaruhiku. Mempengaruhi pikiran serta pemahamanku mengenai cinta.
 Tapi aku sadar bahwa tidak semua kisah yang kulihat itu sama seperti kisah yang kujalani. Karena itulah, aku akan berusaha memahami sendiri arti cinta dalam kisah yang kujalani. Walau kisahku itu berubah menjadi buruk sekalipun, aku tidak peduli. Karena memang, ujung dari setiap kisah tidak pernah ada yang tahu, tidak bisa ditebak, selalu menyimpan rahasia dan hikmahnya sendiri. Dan
Ketika ujung itu menemuiku, kisahku mungkin akan berakhir, tapi tidak demikian dengan cintaku.

PENDAHULUAN

Kisah ini mungkin biasa saja. Sama seperti ribuan kisah cinta yang pernah kau baca sebelumnya. Bisa jadi kau tidak terlalu tertarik mendengar ceritaku ini. Karena cerita yang akan kau dengar ini adalah pengalamanku sendiri. Orang yang sama sepertimu. Sama bekerja setiap harinya, belajar di sela-sela waktu, makan ketika lapar, minum ketika haus, juga tidur dimalam hari dan lainnya yang tentu sama sepertimu. Tidak ada yang berbeda mengenai hal itu. Tapi bukankah pengalaman kita tidak pernah sama? Meskipun kau berkata bahwa kau juga mempunyai pengalaman yang sama sepertiku: tentang cinta. Tapi ceritamu dan ceritaku tetap tidak sama bukan?

Percayalah, aku tidak menjanjikan bahwa ceritaku akan menarik bagimu. Yang kuinginkan hanyalah bercerita. Tapi jika kau melihatku sebagai pendongeng ulung atau seperti penulis cerita Cinderella yang berhasil menarik hatimu. Tetaplah bersamaku. Sampai cerita ini selesai.

***

KEJUTAN


Tahun 1985, Februari, senin pertama dibulan ini.

Pagi-pagi sekali, aku tiba di salah satu kota kecil. Dinegaraku sendiri. Sebuah negara berdaulat yang terletak di lepas pantai barat laut benua Eropa. Udara dikota yang kukunjungi ini sangat menyejukkan. Kau pernah pergi  ke pegunungan dan menghirup udaranya dipagi hari? Rasanya segar sekali bukan? Suasananya terasa ramah dan tenang.

Berbeda dengan suasana di Ibu Kota yang penuh suara bising klakson pengendara mobil yang tidak sabaran dijalanan yang padat. Aku membutuhkan ketenangan. Aku rindu suasana yang bebas menghirup udara segar. Bagiku udara di Ibu Kota sudah tidak sehat. Sudah terlalu lama tercemar oleh polusi.

Aku rindu menatap birunya langit yang cerah. Tidak terus menerus menatap gedung pencakar langit yang menjulang tinggi ke angkasa. Seolah-olah berusaha mengalahkan ketinggian awan. Sungguh, hatiku sudah penat dengan suasana di Ibu Kota.

Aku berdiri didepan stasiun kereta api yang berada dipusat kota. Memperhatikan suasana kota sambil menunggu jemputanku datang. Kota yang kukunjungi ini memang berbeda. Meski bukan kota besar. Tapi kota ini juga memiliki gedung-gedung. Gedung yang tampak sederhana. Tidak tinggi juga tidak pendek. Sejauh pengamatanku, kota ini memiliki gedung tertinggi hanya lima lantai. Sisanya sekitar tiga atau empat. Jalan raya yang tidak terlalu lebar di penuhi (meski tidak padat) oleh kendaraan-kendaraan penduduk setempat. Pohon-pohon yg berukuran sedang tumbuh disepanjang pinggir jalan raya. Dan menakjubkannya, pagi ini sudah banyak orang yang memulai aktivitas hariannya. Tidak kalah dengan Ibu Kota. Dari anak kecil, laki-laki dewasa dan perempuan muda. Entah hendak kemana tujuan mereka.

Saat ini adalah musim dingin. Dijalan raya sudah dipenuhi orang-orang yang memulai beraktivitas dengan membaluti tubuh mereka dengan pakaian musim dingin. Beberapa dari mereka ada yang menggunakan jaket tebal berwarna coklat tua yang panjangnya selutut dan syal terlilit rapih dileher mereka. Salju turun  menggumpal-gumpal seperti kapas yang dengan jahil dituang rutin setiap tahunnya oleh malaikat langit.

Lewat setengah jam, jalan raya tidak lagi banyak dilalui mobil-mobil. Hanya satu dua yang terlihat melintas. Menurut pelayan keluargaku yg menjemputku dari stasiun kereta tadi. Hari ini kota memang tidak terlalu ramai. Beberapa hari yg lalu badai sempat menerpa Kota kecil ini. Badai salju disertai angin yang kencang katanya. Sulit dipercaya, dihari yang setenang ini ternyata terjadi badai beberapa hari yg lalu. Aku rasa sekarang penduduk-penduduk setempat merasa lebih nyaman dan aman duduk disofa ruang keluarga mereka sambil menoton televisi dan menyeruput secangkir kopi atau coklat panas.

Akhirnya aku tiba ditempat tujuan, rumah keluarga besarku. Rumah yang sekarang menjadi tempat bagi ku menginap ini adalah rumah keluarga besarku. Jika kebetulan ada anggota keluargaku yang mengunjungi kota ini  mereka bebas menginap dirumah ini kapan saja. Rumah ini adalah warisan dari kakekku yang meninggal tiga tahun yang lalu. Dulu, sebelum aku bekerja di Ibu Kota, aku pernah menetap di kota ini selama dua setengah tahun untuk bersekolah. Karena itulah, aku sudah tidak asing lagi dengan kota ini. Tidak asing dan selalu aku rindukan. Ada kenangan manis bersama seseorang dikota ini. Sampai sekarang pun masih berlanjut.

Setelah menaruh seluruh barang bawaanku, aku bilang kepada pelayan keluargaku kalau aku hendak keluar rumah mencari makanan. Padahal peyalan keluarga besarku sekaligus yang menjaga rumah keluargaku ini sudah menyiapkan berbagai makanan untuk menyambut kedatanganku. Tapi aku beralasan bahwa aku sudah kangen pada makanan yang dijual dikedai yang tidak terlalu jauh dari rumah keluargaku ini. Bukan maksud ku hendak mengecewakan pelayan keluargaku itu. Tapi aku punya sebuah rencana yang sudah kusiapkan beberapa hari  yang lalu sebelum kekota ini. Aku berjanji kalau aku akan memakan masakan buatannya ketika pulang nanti.

 Rencana sebenarnya kenapa aku buru-buru sekali keluar rumah adalah karena ingin bertemu dengan seseorang itu. Seorang perempuan yang sudah mencuri hatiku setahun yang lalu.

Ah, urusan inilah yang sering sekali membuatku berubah menjadi seseorang yang tidak sabar.

Aku sudah tiba di kedai makanan langgananku dulu. Kedai ini sangat sederhana. Pemilik kedai ini tidak menyewa ruko atau tempat seperti toko sebagai lapaknya untuk berjualan. Pemilik kedai ini hanya berjualan dengan gerobak dorongnya. Di lengkapi oleh beberapa bangku dan meja panjang yang difasilitasi bagi pelanggan yang datang. Pemilik kedai ini sangat ramah. Anggota keluargaku yang lain pun pelanggan kedai ini dan mereka juga bilang demikian. Selalu betah berlama-lama dikedai ini. Selain pemiliknya ramah, tempatnya pun nyaman dan bersih. Apalagi pelayanannya pun baik. Cita rasa masakannya pun tidak kalah dari makanan-makanan yang dijual di restaurant yang sudah terkenal. Banyak sekali keistimewaannya. Tapi bagiku kedai ini punya daya tarik yang kuat, yaitu makanan yang dijual dikedai ini sangatlah terjangkau. Tidak heran kalau sejak dulu kedai ini hampir tidak pernah sepi pelanggan.

Setengah jam berlalu, seseorang yang kutunggu akhirnya muncul juga. Tidak jauh dari kedai ini dia terlihat berjalan bersebelahan bersama temannya yang juga perempuan. Mereka terlihat sedang membicarakan sesuatu. Gadis itu, seseorang yang sangat ingin kutemui. Terlihat selalu tersenyum manis sekali ketika mendengarkan temannya bicara. Dialah gadis yang selalu membuatku menjadi pria yang selalu sok-romantis. Dulu, hampir setiap malam aku habiskan waktu untuk mengenang wajahnya. Menulis banyak kalimat-kalimat indah untuknya. Sampai-sampai aku pernah berjanji kepada diriku sendiri. Kalau orang-orang membuat satu hari yang spesial untuk benar-benar merealisasikan cinta kepada pasangannya dihari valentine. Aku akan membuat setiap hari, disetiap waktu dihidupku kepadanya penuh dengan cinta.

Gadis itu mengenakan kerudung berwarna coklat tua dan mantel tebal yang juga berwarna coklat tua. Dibalik mantel tebal itu terlihat ia mengenakan kemeja berwarna krem. Kerudungnya panjang menutupi sebagian tubuhnya. Jika ia mengangkat tangannya untuk membetulkan letak kerudungnya, kerudung itu pun ikut terangkat karena panjangnya. Dan dibagian bawah mengenakan setelan rok panjang berwarna hitam. Wajahnya putih bersih. Kontras sekali dengan warna pakaiannya. Ia terlihat sangat bersahaja dan sederhana.

Ialah Tisa nama gadis itu. Tapi siapa yang tahu sudah berapa lama aku mencintainya? Siapa yang tahu aku masih mencintainya? Bersedia menunggunya sepanjang hidupku. Bagiku sebuah cinta tidak harus di umumkan kepada banyak orang. Bukankah bagi seseorang yg sedang dimabuk cinta, seluruh manusia dibumi ini hanyalah penonton? Untuk apa mengumbar kisah cinta jika kisah itu tidak bisa dijaga sampai berakhir bahagia. Paling tidak, hingga berhasil menikah. Tentu penonton akan kecewa bukan?

Aku tidak mau membuang waktu. Aku tidak sabar ingin melihat wajah terkejut Tisa saat melihatku. Kau tahu, dulu pun aku sering merencanakan kejutan-kejutan kecil seperti ini. Menghadangnya dijalan menuju kerumahnya ketika ia hendak pulang dan memberikan sebuah wadah makanan kecil berisi agar-agar rasa coklat buatanku. Inilah kejutannya. Siapa yang menyangka bahwa aku bisa memasak agar-agar? Pelayan dirumah keluarga besarku itu pun tidak tahu. Awalnya Tisa pun juga tidak tahu. Atau diam-diam memperhatikannya sambil tanganku cekatan melukis sketsa  wajahnya dikertas. Keesokan harinya tisa terkejut ketika kuberikan hasil karyaku itu.

Aku berlari-lari kecil mengejar Tisa. Berusaha mengekor dibelakangnya. Tapi aku menjaga jarak, tidak terlalu dekat. Agar Tisa tidak menyadari kehadiranku. Saat Tisa berbelok memasuki sebuah jalan kecil seperti gang. Aku tidak ikut bersamanya. Aku memutar arah memasuki jalan kecil yang lain. Jalan kecil yang menuju ke sebuah kedai makanan. Aku yakin kalau Tisa dan temannya hendak ke kedai itu. Kedai itu sering disebut oleh Tisa seperti kantin. Karena tempatnya memang seperti kantin sekolah. Dulu pun aku sering ke kedai itu bersama temanku yang sekarang berada diluar kota. Jadi, jalan kecil untuk menuju ke kedai itu ada dua. Pertama yang dilewati Tisa. Kedua yang dilewati olehku. Jalannya memang sedikit lebih jauh. Memutar setengah jalan lebih jauh dibandingkan jika melewati jalan yang dilewati olehTisa. Tapi itu bukan masalah besar bukan? Demi sebuah kejutan kecil, hal itu tidak berarti apa-apa bagiku. Tidak mau keduluan Tisa. Aku mempercepat langkah kakiku.

Sesuai harapanku. Saat aku tiba dikedai itu Tisa belum datang. Nafasku masih tersengal-sengal. Aku memesan segelas teh hangat kepada pelayan dikedai itu dan memilih tempat duduk yang berhadapan dengan pintu masuk kedai ini. Aku ingin ketika Tisa tiba dan membuka pintu, ia langsung melihatku.

Sejenak aku memperhatikan kedai ini. Tidak ada yang berubah. Masih seperti dulu. Seperti kebanyakan kedai-kedai lain dikota ini. Kedai ini menyuguhkan nuansa klasik. Ruangan keseluruhan kedai ini berbentuk persegi panjang. Dengan kasir yang merangkap juga sebagai tempat pemesanan makanan berada disebelah kanan. Berbeda dengan Tisa yang menyebut kedai ini seperti kantin. Bagiku tempat ini lebih mirip bar. Bagi orang yang baru pertama kali ke kedai ini, aku yakin ia juga akan merasa seperti itu. Tapi sesungguhnya kedai ini tidak menjual bir atau minuman sejenisnya. Kedai ini menjual macam-macam teh yang di dapat dari berbagai negara didunia. Tidak pernah kau bayangkan bukan? Dikota kecil seperti ini terdapat tempat yg menjual teh dengan jenis yang bermacam-macam. Selain teh kedai ini juga menyediakan makanan khas kota ini. Yang unik dari kedai ini adalah disetiap sudut dari kedai ini dibuat dari kayu-kayu tua yang berwarna gelap. Lantainya adalah lantai kayu. Dibeberapa bagian dari kedai ini kadang berdenyit jika di injak. Dinding juga dinding kayu. Langit-langitnya pun demikian. Bagiku hal itulah yang menciptakan kesan klasik dikedai ini. Ah hampir lupa, keseluruhan meja dan kursinya juga dari kayu. Sebagai pendingin ruangan, kedai ini hanya memliki beberapa kipas angin berukuran besar. Tapi kali ini kipas-kipas itu sedang mengalami masa cutinya. Tidak ada yang menginginkannya bekerja dimusim dingin seperti ini.

“Klek” suara pintu dibuka. Tisa dan temannya tiba. Tapi Tisa tidak langsung masuk. Langkahnya terhenti. Dia melihatku. Sesuai dengan dugaanku, Tisa terkejut melihatku. Aku tersenyum hangat kepadanya. Waktu terasa berjalan lambat sekali. Seperti di slow motion. Seolah-olah memang disengaja agar aku bisa menikmati moment ini lebih lama lagi. Tisa berjalan ke arahku dengan perlahan. Aku yakin Tisa sudah berhasil kubuat terkejut. Bahkan jika aku boleh menebak, disetiap langkahnya ketika menghampiriku, detak jantungnya pasti berdegub lebih cepat dari biasanya. Aku yakin itu.

***
Aku duduk berhadapan dengan Tisa. Saling menatap. Belum ada yang bicara diantara kami. Bukan seperti orang yang sedang bertengkar. Aku hanya sedang berusaha menyampaikan kerinduanku padanya, tanpa berkata tentunya.

Berbulan-bulan tidak bertemu. Tentu saat ini adalah moment yang berharga bagiku. Ah rindu sekali aku kepadanya. Teman tisa seperti mengerti saja apa yang harus dilakukannya disaat seperti ini. Dia meninggalkanku dan Tisa duduk berdua. Beruntungnya teman Tisa tidak sengaja bertemu dengan kenalannya dikedai ini. Jadilah mereka mengobrol berdua agak jauh dari tempatku dan Tisa duduk. Tidak mau mengganggu mungkin.

“Kenapa kamu tidak mengabariku kalau mau datang Satya?” Tisa memulai pembicaraan. Aku tidak langsung menjawab. Diam, memperhatikannya sebentar. Mencoba menyusun kata-kata. “Sekarang aku sudah tidak seahli dulu dalam merangkai kata.” Tisa menatapku tidak paham. “Entah karena apa? Seingatku, dulu dengan mudah aku menuliskan  apa aku rasa dan dapat merangkainya menjadi kata-kata yang indah.”

Tisa terlihat tidak mengerti dengan apa yang kubicarakan.

“Tapi aku merasa, mungkin karena sekarang aku lebih berfokus pada merealisasikannya, daripada sekedar berkhayal tentang cinta. Oh cinta, kata yang indah sekali bukan? Bermakna lembut dan menenangkan ketika didengar.”

Aku diam sejenak, mencoba melihat pengaruh dari ucapanku bagi Tisa. Kemudian melanjutkan lagi.

“Karena itulah, aku melakukan ini semua, untuk wanita yang aku ingin tetap tinggal bersamanya selamanya.”

Saat mendengar itu wajah Tisa langsung bersemu merah. “Karena bagiku, melakukan hal yang mengejutkan akan lebih lama dikenang. Bukankah sekarang aku sudah berhasil membuatmu terkejut Tisa?.”

Kalimat terakhirku membuat sebuah senyuman manis tersungging di bibir Tisa. Kemudian dia mengangguk.

***




Tidak ada komentar:

Posting Komentar