Jumat, 01 Februari 2013

Satria’s Story


Cerita ini fiktif. Kalau ada kesamaan tokoh, itu tidak disengaja.
           
Kenalin, gue cowok biasa-biasa aja. Suka dengan musik, baca komik dan novel, internetan, tidur siang, dan masak. Yup, gue (kadang) suka masak. Tapi jangan salah sangka dulu. Gue masak dan akhirnya bisa masak karena keadaan. Keadaan seperti apa? Kalian pernah tinggal jauh dari orang tua? Ngekost. Di luar kota. 528 kilo meter dari tempat nyokap?
            Kalo kalian tanya itu ke gue. Iya adalah jawaban gue. Dan karena itulah gue masak sendiri. Gue telpon nyokap tanya bahan-bahan dan bumbu-bumbu yang diperluin buat bikin makanan yang lagi gue pengen. Gue racik sendiri. Gue uleg sendiri. Gue masak sendiri. And finally, gue makan sendiri. Ini mungkin aneh buat kalian. Kangen masakan nyokap kok malah masak sendiri? Emang rasanya bisa sama? Nah, itu dia hebatnya gue. Asal tau bumbu-bumbu dan bahan-bahannya apa aja, cara masaknya gimana. Semuanya beres. Dijamin, gue sempurna memplagiat masakan nyokap gue. Rasanya? Hmm… maknyus! (menurut gue sih, hehe)
 Gue percaya. Cewek yang jago masak itu cantik. Nah, jadi gue juga percaya kalo gue ganteng. (gubrak!)
 Bagi gue, masak itu adalah seni. Untuk menciptakan hasil masakan yang sempurna ngga cuma asal masak. Perlu penjiwaan. Sama kaya ngelukis. Kita harus bisa memberikan perpaduan warna yang pas agar lukisannya apik.
 Cara masak gue sih sama aja kayak orang lain. Simple. Siapin bahan-bahan  dan bumbu-bumbunya. Peralatan masak lengkap. Dan mental percaya bahwa masakan gue bakalan enak. Gue pernah ngiris bawang bombay cuma dalam hitungan detik (boong banget!). Jelasnya gini, gue melek, terus gue berkedip. Nah, abis berkedip itu bawang bombaynya udah sempurna ke iris oleh tangan dewa gue. Saat itu gue nangis. Bukan karna terharu karena gue jago banget. Tapi karena mata gue perih!
            Nah kebetulan malam minggu kemarin gue abis ngajak cewek ngedate. Namanya Amel--panggil aja begitu. Gue naik motor (motor minjem sih). Amel gue boncengin. Tapi kalo gue ngedate, gue punya peraturan sendiri dalam pelaksanaannya. Kalo kalian nyangka gue bakal ngajak cewek kencan ke restoran mewah sambil dengerin lagu yang romantis, nonton bioskop, ke pasar malem atau jalan-jalan di mall. Kalian salah. Itu basi. Gue punya cara sendiri.
Satria’s Date Rules: Simple-simple aja. Ngga ribet-ribet banget (Insha Allah). Yang penting lain daripada yang lain dan belum pernah ada didunia (kadang lebih kearah yang absurb sih).
Gue ajak si Amel ke pasar tradisional. Mau ngapain? Tentu aja beli bahan-bahan buat masak. Dia mau gue ajak masak.
            Gue blusukan masuk pasar sama si Amel. Gue nyari toko sembako. Karena di situlah bahan-bahan yang gue perluin bertahta. Gue mau masak pancake. Makanya gue mau beli terigu seperapat, telur ayam dua, dan mentega. Bahan lainnya di tempat lain.
Kata temen gue, si Amel itu cewek paling cantik satu sekolahan. Kebayang dong asiknya kayak apa? Katanya gue beruntung bisa ngajak Amel ngedate. Layaknya chef profesional, saat itu gue bener-bener ngeluarin semua keahlian masak gue di depan si Amel.
            Sesampainya dikost gue. Dimulailah kegiatan masak gue sama Amel. Sebelumnya gue pemanasan dulu. Hup…hup…hup…gue lompat-lompat pendek. Biar otot kaki gue ngga cantengan sewaktu berdiri lama saat memasak. Gue melemaskan jari-jari tangan. Menggoyang-goyang pinggul seperti main hola-hup. Mengambil napas dalam-dalam dan hembuskan. Yak, I’m ready.
Gue mulai  mencampur semua adonan yang tersedia. Terigu, gula pasir, garam dan lain-lain. Amel gue suruh ngaduk adonannya sampe rata dan jadi lembut. Karena gue suka bereksperimen yang aneh-aneh, bahan pancakenya gue kasih sosis. Jadi ini bukan pancake yang dimakan pake susu kental manis, selai coklat, nanas atau selai-selai lainnya. Ini pancake yang cocok dimakan pake saus tomat atau saus cabe. Makanya, rasa pancakenya sendiri ngga manis, tapi gurih.
Setengah jam berjalan dengan sempurna. Adonannya udah selesai dibuat. Gue menyeka keringat yang mengucur didahi gue. Gue melihat kearah Amel, dia senyum manis banget ke gue. Bener kata orang-orang, wajah cewek cakep itu memang menghipnotis.
Tapi sialnya, gue lupa masukin telur ke adonan pancakenya. Padahal itu point pentingnya agar pancakenya enak. Alhasil waktu mulai dimasak pancakenya jadi aneh. Gagal. Wajah gue langsung kuyu dihadapan si Amel. Berakhir sudah.
But…
 Ting! Tiba-tiba ada lampu 5 watt nyala di atas kepala gue. Gue punya ide. Pancakenya gue kukus. Waktu itu gue mikir gini, daripada adonannya sayang ngga jadi apa-apa, mending gue manfaatin aja dengan dikukus. Siapa tau bisa jadi kayak bolu kukus. Siapa tau menghasilkan jenis makanan baru. Inilah efek dari pikiran yang sering bereksperimen aneh-aneh dengan masakan. Jadi konslet.
 Tapi itulah kebodohan gue untuk kesekian kalinya. Pancakenya malah jadi kayak bubur tim.
 Sepuluh menit terdiam. Sepuluh menit gue menatap nelangsa ke masakan gagal yang gue buat bareng Amel itu.
 Akhirnya gue sama Amel makan ditempat nasi goreng pinggir jalan.

Jumat, 28 Desember 2012

10-12-2012

                Cinta adalah kata yang sederhana. Tapi rasa yang ada didalamnya sangat tidak sederhana.
Banyak sekali kisah mengenai cinta. Dan aku belajar banyak dari kisah-kisah yang telah kulihat. Terkadang tulisan-tulisan dari setiap orang yang telah melalui kisah cintanya sedikit banyak telah berhasil mempengaruhiku. Mempengaruhi pikiran serta pemahamanku mengenai cinta.
 Tapi aku sadar bahwa tidak semua kisah yang kulihat itu sama seperti kisah yang kujalani. Karena itulah, aku akan berusaha memahami sendiri arti cinta dalam kisah yang kujalani. Walau kisahku itu berubah menjadi buruk sekalipun, aku tidak peduli. Karena memang, ujung dari setiap kisah tidak pernah ada yang tahu, tidak bisa ditebak, selalu menyimpan rahasia dan hikmahnya sendiri. Dan
Ketika ujung itu menemuiku, kisahku mungkin akan berakhir, tapi tidak demikian dengan cintaku.
(Satya, tokoh utama cerita ini)
***

Satya bermimpi kalau ia sudah ada dikota Tisa. Tapi dimimpinya bukan kota Jogja. Awalnya setting tempatnya itu seperti pasar. Di salah satu tempat dipasar itu Satya duduk sambil makan pagi. Warung tempat Satya sarapan bukan berupa rumah. Cuma gerobak yang didepannya disediain bangku panjang buat yang makan. Tidak lama Tisa lewat, berdua dengan temannya. Tisa pake baju seragam identitas. Lalu Satya langsung mengejar Tisa. Tapi Satya tidak langsung menyapa Tisa. Satya berbelok arah. Pergi kearah warung yang ia yakini Tisa mau kesana. Ya, tepat.  Untuk membuat sebuah surprise.
Warung itu lebih mirip kantin, tapi semua dinding, langit-langit, dan lantainya dibuat dari kayu-kayu yang panjang dan warnanya coklat tua. Kesannya klasik. Seperti di film-film barat kuno. Pas ketika mata Tisa tertumbuk melihat Satya ada diwarung itu, Tisa terkejut. Teman Tisa seperti mengerti saja ia harus melakukan apa disaat-saat seperti ini, dia membiarkan Tisa dan Satya duduk berdua. Satya dan Tisa berhadapan. Sama seperti pertemuan-pertemuan mereka sebelumnya. Banyak hal berkecamuk di dada mereka. Ada rasa kangen yang ga ketulungan, agak malu-malu, bingung mau ngomong apa, dan lain-lain.

***

Setelah hari itu, seperti dulu. Satya sering menemui Tisa sepulang sekolah. Tapi suatu hari, entah karena apa Satya dan Tisa berantem. Tidak jelas apa akar masalahnya. Mereka tiba-tiba saling acuh, sampai jarang bertemu lagi. Tapi karena Satya rasa itu bukan masalah besar, Satya memutuskan untuk bertemu Tisa. Setidaknya bagi Satya, hubungan mereka lebih penting daripada sekedar menuruti ego yang aneh.
Sayangnya, ketika tiba disekolah Satya tidak bertemu dengan Tisa.  Ah hampir lupa, sekolah Tisa tingkat empat, dan pagar luarnya memungkinkan orang untuk melihat ke dalam. Intinya seperti sekolah-sekolah di eropa. Dan kau tau hal yang lebih aneh? Di kota Tisa turun salju. Semua orang memakai baju musim dingin. Tentu saja Satya bingung, dalam ingatannya kota Tisa tidak seperti itu.
Satya yakin kalo ini bukan di Indonesia. Ini lebih mirip kota-kota dinegara-negara barat. Entah Inggris, Amerika, atau Perancis. Kotanya luar biasa, gedung-gedungnya dibangun indah, cat gedungnya terawat, mobil melaju sesuai peraturan lalu lintas. Tidak ada macet. Orang-orang bersliweran damai. Ini memang kota yang menjanjikan ketenangan. Setidaknya untuk saat ini.
Setelah hari dimana Satya tidak berhasil bertemu dengan Tisa disekolah. Kau tau, hari-hari berikutnya pun sama. Satya ke sekolah dan tidak bertemu Tisa. Ke sekolah lagi dan Satya hanya menatap kosong dari pintu pagar. Berharap Tisa keluar dari gedung sekolah dan melihatnya. Hal itu terus berlanjut sampai beberapa hari. Rasanya lebih dari seminggu. Sampai Satya tidak tahu kalau ternyata sekolah Tisa di liburkan. Karena hampir setiap malam ada badai salju. Setiap hari salju naik sekitar 10cm. tapi besok cair karena terkena sinar matahari, besoknya lagi, naik lagi. Begitu terus berulang-ulang. Yang pasti setiap malam badai salju semakin ganas. Entah kapan akan berhenti.
Meski hari libur pun Satya tetap ke sekolah, berharap bertemu Tisa. Satya merasa itu tindakan paling bodoh yang pernah ia lakukan. Padahal ia tahu sekolah sepi dan yang ada mungkin hanya penjaga sekolah. Tapi Satya tetap ke sana, pergi ke sekolah Tisa. Meski Satya tidak bisa bertemu Tisa, setidaknya Satya bisa melihat kenangan melihat Tisa dulu disekolah itu, begitu pikir Satya. Kau tau? Dicerita ini Satya mempunyai seorang pembantu yang setia. Tapi umurnya tidak lagi muda. Sudah lebih dari setengah abad. Dia selalu menemani Satya kemana saja. Termasuk sekarang. Dia menemani Satya menatap gedung sekolah dari pintu pagar. Pembantu setia itu terus melihat Satya prihatin. Sudah lama perkara ini berlanjut tanpa kepastian. Sampai suatu hari Satya bangun dari tidur, dan melihat wajahnya dicermin. Terlihat olehnya, tubuhnya menjadi lebih kurus, wajahnya tirus. Rambutnya gondrong tidak ter-urus. Kumis tipis pun sekarang menghiasi atas bibirnya. Meski tipis tapi cukup jelas. Hanya jenggot yang baru tumbuh sedikit.
Kau ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi pada Tisa? Tisa sakit parah. Demam karena cuaca yang ekstrim, membuat tubuhnya terdera penyakit. Suhu tubuhnya tinggi sekali. Keluarga Tisa pun sibuk mengurusi Tisa. Mereka sangat khawatir dengan keadaan Tisa. Sudah beberapa dokter dipanggil untuk mengobati. Tapi dokter-dokter itu menyerah. Dokter-dokter itu tidak bisa mengobati Tisa. Mereka hanya memberikan dua pilihan, lepas alat bantu hidup Tisa atau membiarkan Tisa meninggal dengan sendirinya. Sungguh bukan pilihan yang menyenangkan. Apapun jawaban yang dipilih, hasilnya tidak baik.
Tisa hanya menjalani hari-harinya dengan terus berbaring ditempat tidur berseprai putih. Dengan infus terpasang ditangannya. Tisa tidur. Entah tidur dalam arti sesungguhnya atau koma. Sampai sekarang Satya tidak tahu kalau Tisa sakit. Tapi ada kabar yang entah baik, entah buruk, kini Satya sudah berhenti pergi ke sekolah. Tapi menjadi lebih buruk karena seharian Satya hanya duduk di sofa kamar dan tidak mau melakukan apa-apa. Menolak makan dan minum. Di dalam hatinya, Satya mengutuk diriku sendiri. Menyesal dan bersedih berkepanjangan atas apa yang sudah terjadi. Meski tidak menangis tapi sekitar mata Satya merah kehitaman. Kurang tidur. Ya, Satya memang tidak pernah bisa tidur baik dimalam hari ataupun disiang hari. Jika tidak sengaja tidur, tidurnya pun dengan posisi duduk.

***

Dan datanglah hari yang tenang. Salju berhenti turun. Bunga-bunga bermekaran. Banyak daun berguguran. Seperti gugurnya cheery blossom di musim semi. Matahari pun menyinari dengan hangat. Pagi ini suasana sungguh damai. Damai yang mengantarkan Tisa ke pembaringan terakhir. Ah, aku bisa menduga bahwa kau pasti sudah bisa menebak apa yang terjadi.
Pemakaman digelar. Tidak lama kuburan Tisa sudah sempurna tertutup rapat. Selesai sudah. Doa-doa dipanjatkan. Bunga-bunga ditaburkan. Orang-orang berkumpul berkabung. Orang tua  Tisa menangis ditinggalkan oleh putri kesayangannya. Dan terjadilah saat itu, kejadian paling klimaks dari cerita ini. Satya menyibak kerumunan orang, menerobos banyak orang yang mendatangi pemakaman Tisa. Orang-orang terkejut atas kedatangan Satya. Setelah sampai dirumah terakhir Tisa. Satya mengeluarkan pistol dari saku jasnya agar tidak ada orang yang berusaha menghentikan atau mengganggunya. Setidaknya pistol itu peringatan bahwa ia tidak sedang bercanda.
Sebagian orang, terutama perempuan. Berteriak melihat Satya mengeluarkan pistol. Mungkin mereka berpikir Satya sudah gila dan ingin mencelekai mereka. Satya bersimpuh. Menatap sedih kekuburan Tisa. Ia menyentuh nisan Tisa seolah-olah menyentuh kepala manusia dan mengelus-ngelusnya. Semua orang yang melihat itu terdiam. Ya, saat itulah pertama kalinya Satya menangis dan tidak tahan lagi untuk tidak marah. Satya memaki kepada orang-orang yang datang kepemakaman Tisa.
“Kenapa tidak ada satupun diantara kalian yang memberi tahuku mengenai hal ini? Bahkan saat Tisa sakitpun tidak ada kabar secuil pun masuk ke telingaku!”
Orang-orang dipemakaman itu hanya bisa diam. Tidak satupun yang menjawab. Mereka hanya melihat Satya dengan tatapan bersimpati. Prihatin. Mereka tentu mengerti apa yang Satya rasakan.
“Baiklah, kalau tidak ada satupun dari kalian yang bicara dan memberikan penjelasan. Aku pun akan menyusul Tisa!”
Orang-orang terkejut ketika melihat Satya mengarahkan pistol yang ada ditangannya ke kepalanya sendiri. Mereka sontak berusaha hendak menghentikan Satya. Tapi pistol sudah sempurna terarah ke kening Satya. Dan
“Doorrr!!!”
Suara pistol mengalahkan suara kekhawatiran orang-orang. Semua orang bungkam. Suasana hening seketika. Semua mata terpana. Tidak percaya dengan apa yang barusan mereka saksikan. Dan bagi Satya semua menjadi gelap. Berakhir sudah.
Setelah kejadian itu, mungkin Satya akan terbang, pergi jauh ke kehidupan baru. Entah bersama Tisa atau tidak. Tidak ada yang tahu.


***


Nah, itulah mimpi yang sangat mendebarkan.



Selasa, 25 Desember 2012

Aku sedih dan aku berkhayal


Malam ini. Aku bersedih. Ya seperti halnya sebuah hati yang  selalu sibuk, mungkin lelah dengan perjalanannya. Terkadang hatikupun bersedih layaknya hati-hati yang lain.
Ditengah kesedihan yang kualami. Aku mencoba memikirkan hal lain yang mungkin bisa membuatku lupa pada kesedihanku. Dan ini dia hasilnya. Here we go!

Aku menatap langit-langit kamar. Kosong. Yang terlihat hanya bekas bercak-bercak kotor terkena air karena genteng bocor dan sekarang sudah mengering. Satu-dua cicak telihat mencoba menangkap nyamuk yang sliweran. Aku mencoba berandai-andai. Bagaimana kalau buku menjadi idola di negeri ini. Setiap orang menggilai buku. Buku apa saja. Setiap orang bercita-cita menjadi penulis agar bisa menghasilkan buku mereka sendiri. Semua iklan di televisi adalah iklan mengenai promosi buku yang baru saja terbit di toko buku. Orang ramai-ramai mempromosikan buku. Mungkin  mbak-mbak seksi yang sering jadi model mobil sport atau motor GP itu tertarik untuk jadi model launching buku, tidak melulu mejeng diacara show room mobil-mobil keren atau motor-motor keluaran terbaru. Mungkin sekali-sekali bisa gantian dengan penulis buku, kalau sedang book signing atau meet and greet ditemani cewek cantik nan seksi layaknya Rossi yang di payungi cewek cantik ketika bersiap-siap untuk start balapan, hehe.

Media sibuk memberitakan kisah-kisah sarat makna yang ditulis oleh penulis tertentu. Atau kisah lucu nan menggelitik karya penulis yang terkenal humoris tidak hanya dibukunya saja tapi juga didunia nyata. Sehingga terciptalah suatu pemandangan yang mencengangkan. Setiap orang, baik anak kecil, orang dewasa, ataupun lansia. Dimanapun mereka berada, selalu membaca buku. Dirumah, dihalte bus, dikereta, ditempat rekreasi, everywhere is time to reading or writing ! Amazing ! Osem ! (baca: Awesome)
Jika televisi sekarang sibuk bahkan gencar mengiklankan produk baru lengkap dengan kelebihan dan keunggulannya, seperti iklan mesin cuci, televisi, hape, motor ataupun mobil. Dalam khayalanku, itu berganti menjadi iklan mengenai buku. Iklan mengenai kehebatan suatu buku. Yang jika dibaca bisa membuat orang terharu karena ceritanya yang menyentuh. Atau tertawa terbahak-bahak karena ceritanya yang mengocol dan mengaduk-aduk isi perut. Atau buku yang agak serius. Buku apa saja.

Ada sales yang sibuk menjelaskan betapa manis, menyentuh, hebat dan mengagumkannya suatu buku. Betapa banyak keuntungan yang akan diperoleh pembeli jika membeli buku yang dipromosikan itu. Para tetangga, teman-teman, sahabat atau pacar, sibuk merekomendasikan buku yang baru mereka baca kepada orang terdekat mereka. Dijalanan dipenuhi oleh spanduk yang mempromosikan buku. Banyak slogan berceceran dijalanan mengenai membaca buku atau menulis buku. Aku berandai-andai jika hal itu terjadi. Mungkin negeri ini akan dipenuhi oleh orang-orang kutu buku yang pintar dan cerdas. Aku harap tidak ada kutu buku yang aneh dan psikopat karena terlalu sering membaca buku mengenai criminal minds. Tidak hanya menjadi kutu buku pasif saja, tapi juga jadi kutu buku aktif yang turut serta menulis buku. Dan mungkin kutu buku itu akan jadi aset negara paling berharga karena memiliki integritas yang tinggi. Mungkin dalam waktu 5-10 tahun mendatang, negeri ini akan menjadi negara yang maju. Tentu diawali dengan besarnya minat banyak orang dalam membaca. ”Penulis yang baik, karena ia menjadi pembaca yang baik” demikian kata Pak Hernowo. Jika saat itu tiba, mungkin Indonesia akan lebih superior dibanding Amerika. Bisa saja bukan?

Sehingga indonesia menjadi pusat peradapan buku termahsyur didunia. Menjadi pusat penulis-penulis hebat dan sastra terbaik didunia. Pusat penulis-penulis produktif menghasilkan buku-buku terbaik untuk dunia. Tidak ada lagi kegiatan yang sering digunakan untuk menghabiskan waktu selain membaca dan menulis.
Lagi-lagi aku jadi berandai-andai lebih dalam. Bagaimana kalau aku membuat komunitas dengan nama RPBI, yakni Republik Penulis Buku Indonesia. Haha, kayaknya seru.

Untuk membuat komunitas RPBI aku memang tidak terlalu serius. Tapi aku benar-benar bersungguh-sungguh untuk bisa menjadi penulis. Penulis buku apa saja. Yang penting memiliki roh dalam setiap buku yang kutulis. Bisa menginspirasi dan mengajak orang kepada kebaikan. Sehingga khayalanku tidak hanya terjadi dalam pikiranku belaka. Tapi aku memang benar-benar melihat bahwa buku telah menjadi idola dinegara ini. Tidak ada lagi orang yang buta membaca dan gagap menulis. Membaca dan menulis resmi menjadi aktivitas rutin setiap hari. Dan tidak hanya dilakoni oleh orang-orang tertentu, atau terbatas dari kalangan tertantu. Tapi juga digemari oleh setiap orang. Tidak peduli kasta, ras dan status sosial. Dari setiap desa, provinsi, kota dan akhirnya menyeluruh diseluruh negeri. Menciptakan atmosfir dan nafas kehidupan yang baru:  membaca dan menulis.

Setiap orang bisa semangat membangun negeri ini melalui menulis. Memperkaya wawasan dan ilmu anak bangsa. Seperti tumbuhan yang disiram air, menumbuhkan penerus bangsa menjadi cendekiawan-cendekiawan muda yang tangguh.

“Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis”. [Imam Al-Ghazali]

Demikianlah khayalanku.

Rabu, 19 Desember 2012

Layla Majnun


Alkisah, seorang kepala suku Bani Umar di Jazirah Arab memiIiki segala macam yang diinginkan orang, kecuali satu hal bahwa ia tak punya seorang anakpun. Tabib-tabib di desa itu menganjurkan berbagai macam ramuan dan obat, tetapi tidak berhasil. Ketika semua usaha tampak tak berhasil, istrinya menyarankan agar mereka berdua bersujud di hadapan Tuhan dan dengan tulus memohon kepada Allah swt memberikan anugerah kepada mereka berdua. “Mengapa tidak?” jawab sang kepala suku. “Kita telah mencoba berbagai macam cara. Mari, kita coba sekali lagi, tak ada ruginya.”
Mereka pun bersujud kepada Tuhan, sambil berurai air mata dari relung hati mereka yang terluka. “Wahai Segala Kekasih, jangan biarkan pohon kami tak berbuah. Izinkan kami merasakan manisnya menimang anak dalam pelukan kami. Anugerahkan kepada kami tanggung jawab untuk membesarkan seorang manusia yang baik. Berikan kesempatan kepada kami untuk membuat-Mu bangga akan anak kami.”
Tak lama kemudian, doa mereka dikabulkan, dan Tuhan menganugerahi mereka seorang anak laki-laki yang diberi nama Qais. Sang ayah sangat berbahagia, sebab Qais dicintai oleh semua orang. Ia tampan, bermata besar, dan berambut hitam, yang menjadi pusat perhatian dan kekaguman. Sejak awal, Qais telah memperlihatkan kecerdasan dan kemampuan fisik istimewa. Ia punya bakat luar biasa dalam mempelajari seni berperang dan memainkan musik, menggubah syair dan melukis.
Ketika sudah cukup umur untuk masuk sekolah, ayahnya memutuskan membangun sebuah sekolah yang indah dengan guru-guru terbaik di Arab yang mengajar di sana , dan hanya beberapa anak saja yang belajar di situ. Anak-anak lelaki dan perempuan dan keluarga terpandang di seluruh jazirah Arab belajar di sekolah baru ini.
Di antara mereka ada seorang anak perempuan dari kepala suku tetangga. Seorang gadis bermata indah, yang memiliki kecantikan luar biasa. Rambut dan matanya sehitam malam; karena alasan inilah mereka menyebutnya Laila-”Sang Malam”. Meski ia baru berusia dua belas tahun, sudah banyak pria melamarnya untuk dinikahi, sebab-sebagaimana lazimnya kebiasaan di zaman itu, gadis-gadis sering dilamar pada usia yang masih sangat muda, yakni sembilan tahun.
Laila dan Qais adalah teman sekelas. Sejak hari pertama masuk sekolah, mereka sudah saling tertarik satu sama lain. Seiring dengan berlalunya waktu, percikan ketertarikan ini makin lama menjadi api cinta yang membara. Bagi mereka berdua, sekolah bukan lagi tempat belajar. Kini, sekolah menjadi tempat mereka saling bertemu. Ketika guru sedang mengajar, mereka saling berpandangan. Ketika tiba waktunya menulis pelajaran, mereka justru saling menulis namanya di atas kertas. Bagi mereka berdua, tak ada teman atau kesenangan lainnya. Dunia kini hanyalah milik Qais dan Laila.
Mereka buta dan tuli pada yang lainnya. Sedikit demi sedikit, orang-orang mulai mengetahui cinta mereka, dan gunjingan-gunjingan pun mulai terdengar.. Di zaman itu, tidaklah pantas seorang gadis dikenal sebagai sasaran cinta seseorang dan sudah pasti mereka tidak akan menanggapinya. Ketika orang-tua Laila mendengar bisik-bisik tentang anak gadis mereka, mereka pun melarangnya pergi ke sekolah. Mereka tak sanggup lagi menahan beban malu pada masyarakat sekitar.
Ketika Laila tidak ada di ruang kelas, Qais menjadi sangat gelisah sehingga ia meninggalkan sekolah dan menyelusuri jalan-jalan untuk mencari kekasihnya dengan memanggil-manggil namanya. Ia menggubah syair untuknya dan membacakannya di jalan-jalan. Ia hanya berbicara tentang Laila dan tidak juga menjawab pertanyaan orang-orang kecuali bila mereka bertanya tentang Laila. Orang-orang pun tertawa dan berkata, ” Lihatlah Qais , ia sekarang telah menjadi seorang majnun, gila!”
Akhirnya, Qais dikenal dengan nama ini, yakni “Majnun”. Melihat orang-orang dan mendengarkan mereka berbicara membuat Majnun tidak tahan. Ia hanya ingin melihat dan berjumpa dengan Laila kekasihnya. Ia tahu bahwa Laila telah dipingit oleh orang tuanya di rumah, yang dengan bijaksana menyadari bahwa jika Laila dibiarkan bebas bepergian, ia pasti akan menjumpai Majnun.
Majnun menemukan sebuah tempat di puncak bukit dekat desa Laila dan membangun sebuah gubuk untuk dirinya yang menghadap rumah Laila. Sepanjang hari Majnun duduk-duduk di depan gubuknya, disamping sungai kecil berkelok yang mengalir ke bawah menuju desa itu. Ia berbicara kepada air, menghanyutkan dedaunan bunga liar, dan Majnun merasa yakin bahwa sungai itu akan menyampaikan pesan cintanya kepada Laila. Ia menyapa burung-burung dan meminta mereka untuk terbang kepada Laila serta memberitahunya bahwa ia dekat.
Ia menghirup angin dari barat yang melewati desa Laila. Jika kebetulan ada seekor anjing tersesat yang berasal dari desa Laila, ia pun memberinya makan dan merawatnya, mencintainya seolah-olah anjing suci, menghormatinya dan menjaganya sampai tiba saatnya anjing itu pergi jika memang mau demikian. Segala sesuatu yang berasal dari tempat kekasihnya dikasihi dan disayangi sama seperti kekasihnya sendiri.
Bulan demi bulan berlalu dan Majnun tidak menemukan jejak Laila. Kerinduannya kepada Laila demikian besar sehingga ia merasa tidak bisa hidup sehari pun tanpa melihatnya kembali. Terkadang sahabat-sahabatnya di sekolah dulu datang mengunjunginya, tetapi ia berbicara kepada mereka hanya tentang Laila, tentang betapa ia sangat kehilangan dirinya.
Suatu hari, tiga anak laki-laki, sahabatnya yang datang mengunjunginya demikian terharu oleh penderitaan dan kepedihan Majnun sehingga mereka bertekad membantunya untuk berjumpa kembali dengan Laila. Rencana mereka sangat cerdik. Esoknya, mereka dan Majnun mendekati rumah Laila dengan menyamar sebagai wanita. Dengan mudah mereka melewati wanita-wanita pembantu dirumah Laila dan berhasil masuk ke pintu kamarnya.
Majnun masuk ke kamar, sementara yang lain berada di luar berjaga-jaga. Sejak ia berhenti masuk sekolah, Laila tidak melakukan apapun kecuali memikirkan Qais. Yang cukup mengherankan, setiap kali ia mendengar burung-burung berkicau dari jendela atau angin berhembus semilir, ia memejamkan.matanya sembari membayangkan bahwa ia mendengar suara Qais didalamnya. Ia akan mengambil dedaunan dan bunga yang dibawa oleh angin atau sungai dan tahu bahwa semuanya itu berasal dari Qais. Hanya saja, ia tak pernah berbicara kepada siapa pun, bahkan juga kepada sahabat-sahabat terbaiknya, tentang cintanya.
Pada hari ketika Majnun masuk ke kamar Laila, ia merasakan kehadiran dan kedatangannya. Ia mengenakan pakaian sutra yang sangat bagus dan indah. Rambutnya dibiarkan lepas tergerai dan disisir dengan rapi di sekitar bahunya. Matanya diberi celak hitam, sebagaimana kebiasaan wanita Arab, dengan bedak hitam yang disebut surmeh. Bibirnya diberi lipstick merah, dan pipinya yang kemerah-merahan tampak menyala serta menampakkan kegembiraannya. Ia duduk di depan pintu dan menunggu.
Ketika Majnun masuk, Laila tetap duduk. Sekalipun sudah diberitahu bahwa Majnun akan datang, ia tidak percaya bahwa pertemuan itu benar-benar terjadi. Majnun berdiri di pintu selama beberapa menit, memandangi, sepuas-puasnya wajah Laila. Akhirnya, mereka bersama lagi! Tak terdengar sepatah kata pun, kecuali detak jantung kedua orang yang dimabuk cinta ini. Mereka saling berpandangan dan lupa waktu.
Salah seorang wanita pembantu di rumah itu melihat sahabat-sahabat Majnun di luar kamar tuan putrinya. Ia mulai curiga dan memberi isyarat kepada salah seorang pengawal. Namun, ketika ibu Laila datang menyelidiki, Majnun dan kawan-kawannya sudah jauh pergi. Sesudah orang-tuanya bertanya kepada Laila, maka tidak sulit bagi mereka mengetahui apa yang telah terjadi. Kebisuan dan kebahagiaan yang terpancar dimatanya menceritakan segala sesuatunya.
Sesudah terjadi peristiwa itu, ayah Laila menempatkan para pengawal di setiap pintu di rumahnya. Tidak ada jalan lain bagi Majnun untuk menghampiri rumah Laila, bahkan
dari kejauhan sekalipun. Akan tetapi jika ayahnya berpikiran bahwa, dengan bertindak hati-hati ini ia bisa mengubah perasaan Laila dan Majnun, satu sama lain, sungguh ia salah besar.
Ketika ayah Majnun tahu tentang peristiwa di rumah Laila, ia memutuskan untuk mengakhiri drama itu dengan melamar Laila untuk anaknya. Ia menyiapkan sebuah kafilah penuh dengan hadiah dan mengirimkannya ke desa Laila. Sang tamu pun disambut dengan sangat baik, dan kedua kepala suku itu berbincang-bincang tentang kebahagiaan anak-anak mereka. Ayah Majnun lebih dulu berkata, “Engkau tahu benar, kawan, bahwa ada dua hal yang sangat penting bagi kebahagiaan, yaitu “Cinta dan Kekayaan”.
Anak lelakiku mencintai anak perempuanmu, dan aku bisa memastikan bahwa aku sanggup memberi mereka cukup banyak uang untuk mengarungi kehidupan yang bahagia dan menyenangkan. Mendengar hal itu, ayah Laila pun menjawab, “Bukannya aku menolak Qais. Aku percaya kepadamu, sebab engkau pastilah seorang mulia dan terhormat,” jawab ayah Laila. “Akan tetapi, engkau tidak bisa menyalahkanku
kalau aku berhati-hati dengan anakmu. Semua orang tahu perilaku abnormalnya. Ia berpakaian seperti seorang pengemis. Ia pasti sudah lama tidak mandi dan iapun hidup bersama hewan-hewan dan menjauhi orang banyak. “Tolong katakan kawan, jika engkau punya anak perempuan dan engkau berada dalam posisiku, akankah engkau memberikan anak perempuanmu kepada anakku?”
Ayah Qais tak dapat membantah. Apa yang bisa dikatakannya? Padahal, dulu anaknya adalah teladan utama bagi kawan-kawan sebayanya? Dahulu Qais adalah anak yang paling cerdas dan berbakat di seantero Arab? Tentu saja, tidak ada yang dapat dikatakannya. Bahkan, sang ayahnya sendiri susah untuk mempercayainya. Sudah lama orang tidak mendengar ucapan bermakna dari Majnun. “Aku tidak akan diam berpangku tangan dan melihat anakku menghancurkan dirinya sendiri,” pikirnya. “Aku harus melakukan sesuatu.”
Ketika ayah Majnun kembali pulang, ia menjemput anaknya, Ia mengadakan pesta makan malam untuk menghormati anaknya. Dalam jamuan pesta makan malam itu, gadis-gadis tercantik di seluruh negeri pun diundang. Mereka pasti bisa mengalihkan perhatian Majnun dari Laila, pikir ayahnya. Di pesta itu, Majnun diam dan tidak mempedulikan tamu-tamu lainnya. Ia duduk di sebuah sudut ruangan sambil melihat gadis-gadis itu hanya untuk mencari pada diri mereka berbagai kesamaan dengan yang dimiliki Laila.
Seorang gadis mengenakan pakaian yang sama dengan milik Laila; yang lainnya punya rambut panjang seperti Laila, dan yang lainnya lagi punya senyum mirip Laila. Namun, tak ada seorang gadis pun yang benar-benar mirip dengannya, Malahan, tak ada seorang pun yang memiliki separuh kecantikan Laila. Pesta itu hanya menambah kepedihan perasaan Majnun saja kepada kekasihnya. Ia pun berang dan marah serta menyalahkan setiap orang di pesta itu lantaran berusaha mengelabuinya.
Dengan berurai air mata, Majnun menuduh orang-tuanya dan sahabat-sahabatnya sebagai berlaku kasar dan kejam kepadanya. Ia menangis sedemikian hebat hingga akhirnya jatuh ke lantai dalam keadaan pingsan. Sesudah terjadi petaka ini, ayahnya memutuskan agar Qais dikirim untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah dengan harapan bahwa Allah akan merahmatinya dan membebaskannya dari cinta yang menghancurkan ini.
Di Makkah, untuk menyenangkan ayahnya, Majnun bersujud di depan altar Kabah, tetapi apa yang ia mohonkan? “Wahai Yang Maha Pengasih, Raja Diraja Para Pecinta, Engkau yang menganugerahkan cinta, aku hanya mohon kepada-Mu satu hal saja,”Tinggikanlah cintaku sedemikian rupa sehingga, sekalipun aku binasa, cintaku dan kekasihku tetap hidup.” Ayahnya kemudian tahu bahwa tak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk anaknya.
Usai menunaikan ibadah haji, Majnun yang tidak mau lagi bergaul dengan orang banyak di desanya, pergi ke pegunungan tanpa memberitahu di mana ia berada. Ia tidak kembali ke gubuknya. Alih-alih tinggal dirumah, ia memilih tinggal direruntuhan sebuah bangunan tua yang terasing dari masyarakat dan tinggal didalamnya. Sesudah itu, tak ada seorang pun yang mendengar kabar tentang Majnun. Orang-tuanya mengirim segenap sahabat dan keluarganya untuk mencarinya. Namun, tak seorang pun berhasil menemukannya. Banyak orang berkesimpulan bahwa Majnun dibunuh oleh binatang-binatang gurun sahara. Ia bagai hilang ditelan bumi.
Suatu hari, seorang musafir melewati reruntuhan bangunan itu dan melihat ada sesosok aneh yang duduk di salah sebuah tembok yang hancur. Seorang liar dengan rambut panjang hingga ke bahu, jenggotnya panjang dan acak-acakan, bajunya compang-camping dan kumal. Ketika sang musafir mengucapkan salam dan tidak beroleh jawaban, ia mendekatinya. Ia melihat ada seekor serigala tidur di kakinya. “Hus” katanya, ‘Jangan bangunkan sahabatku.” Kemudian, ia mengedarkan pandangan ke arah kejauhan.
Sang musafir pun duduk di situ dengan tenang. Ia menunggu dan ingin tahu apa yang akan terjadi. Akhimya, orang liar itu berbicara. Segera saja ia pun tahu bahwa ini adalah Majnun yang terkenal itu, yang berbagai macam perilaku anehnya dibicarakan orang di seluruh jazirah Arab. Tampaknya, Majnun tidak kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan dengan binatang-binatang buas dan liar. Dalam kenyataannya, ia sudah menyesuaikan diri dengan sangat baik sehingga lumrah-lumrah saja melihat dirinya sebagai bagian dari kehidupan liar dan buas itu.
Berbagai macam binatang tertarik kepadanya, karena secara naluri mengetahui bahwa Majnun tidak akan mencelakakan mereka. Bahkan, binatang-binatang buas seperti serigala sekalipun percaya pada kebaikan dan kasih sayang Majnun. Sang musafir itu mendengarkan Majnun melantunkan berbagai kidung pujiannya pada Laila. Mereka berbagi sepotong roti yang diberikan olehnya. Kemudian, sang musafir itu pergi dan melanjutkan petjalanannya.
Ketika tiba di desa Majnun, ia menuturkan kisahnya pada orang-orang. Akhimya, sang kepala suku, ayah Majnun, mendengar berita itu. Ia mengundang sang musafir ke rumahnya dan meminta keteransran rinci darinya. Merasa sangat gembira dan bahagia bahwa Majnun masih hidup, ayahnya pergi ke gurun sahara untuk menjemputnya.
Ketika melihat reruntuhan bangunan yang dilukiskan oleh sang musafir itu, ayah Majnun dicekam oleh emosi dan kesedihan yang luar biasa. Betapa tidak! Anaknya terjerembab dalam keadaan mengenaskan seperti ini. “Ya Tuhanku, aku mohon agar Engkau menyelamatkan anakku dan mengembalikannya ke keluarga kami,” jerit sang ayah menyayat hati. Majnun mendengar doa ayahnya dan segera keluar dari tempat persembunyiannya. Dengan bersimpuh dibawah kaki ayahnya, ia pun menangis, “Wahai ayah, ampunilah aku atas segala kepedihan yang kutimbulkan pada dirimu. Tolong lupakan bahwa engkau pernah mempunyai seorang anak, sebab ini akan meringankan beban kesedihan ayah. Ini sudah nasibku mencinta, dan hidup hanya untuk mencinta.” Ayah dan anak pun saling berpelukan dan menangis. Inilah pertemuan terakhir mereka.
Keluarga Laila menyalahkan ayah Laila lantaran salah dan gagal menangani situasi putrinya. Mereka yakin bahwa peristiwa itu telah mempermalukan seluruh keluarga. Karenanya, orangtua Laila memingitnya dalam kamamya. Beberapa sahabat Laila diizinkan untuk mengunjunginya, tetapi ia tidak ingin ditemani. Ia berpaling kedalam hatinya, memelihara api cinta yang membakar dalam kalbunya. Untuk mengungkapkan segenap perasaannya yang terdalam, ia menulis dan menggubah syair kepada kekasihnya pada potongan-potongan kertas kecil. Kemudian, ketika ia diperbolehkan menyendiri di taman, ia pun menerbangkan potongan-potongan kertas kecil ini dalam hembusan angin. Orang-orang yang menemukan syair-syair dalam potongan-potongan kertas kecil itu membawanya kepada Majnun.
Dengan cara demikian, dua kekasih itu masih bisa menjalin hubungan.
Karena Majnun sangat terkenal di seluruh negeri, banyak orang datang mengunjunginya. Namun, mereka hanya berkunjung sebentar saja, karena mereka tahu bahwa Majnun tidak kuat lama dikunjungi banyak orang. Mereka mendengarkannya melantunkan syair-syair indah dan memainkan serulingnya dengan sangat memukau.
Sebagian orang merasa iba kepadanya; sebagian lagi hanya sekadar ingin tahu tentang kisahnya. Akan tetapi, setiap orang mampu merasakan kedalaman cinta dan kasih sayangnya kepada semua makhluk. Salah seorang dari pengunjung itu adalah seorang ksatria gagah berani bernama ‘Amar, yang berjumpa dengan Majnun dalam perjalanannya menuju Mekah. Meskipun ia sudah mendengar kisah cinta yang sangat terkenal itu di kotanya, ia ingin sekali mendengarnya dari mulut Majnun sendiri.
Drama kisah tragis itu membuatnya sedemikian pilu dan sedih sehingga ia bersumpah dan bertekad melakukan apa saja yang mungkin untuk mempersatukan dua kekasih itu, meskipun ini berarti menghancurkan orang-orang yang menghalanginya! Kaetika Amr kembali ke kota kelahirannya, Ia pun menghimpun pasukannya. Pasukan ini berangkat menuju desa Laila dan menggempur suku di sana tanpa ampun. Banyak orang yang terbunuh atau terluka.
Ketika pasukan ‘Amr hampir memenangkan pertempuran, ayah Laila mengirimkan pesan kepada ‘Amr, “Jika engkau atau salah seorang dari prajuritmu menginginkan putriku, aku akan menyerahkannya tanpa melawan. Bahkan, jika engkau ingin membunuhnya, aku tidak keberatan. Namun, ada satu hal yang tidak akan pernah bisa kuterima, jangan minta aku untuk memberikan putriku pada orang gila itu”. Majnun mendengar pertempuran itu hingga ia bergegas kesana. Di medan pertempuran, Majnun pergi ke sana kemari dengan bebas di antara para prajurit dan menghampiri orang-orang yang terluka dari suku Laila. Ia merawat mereka dengan penuh perhatian dan melakukan apa saja untuk meringankan luka mereka.
Amr pun merasa heran kepada Majnun, ketika ia meminta penjelasan ihwal mengapa ia membantu pasukan musuh, Majnun menjawab, “Orang-orang ini berasal dari desa kekasihku. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi musuh mereka?” Karena sedemikian bersimpati kepada Majnun, ‘Amr sama sekali tidak bisa memahami hal ini. Apa yang dikatakan ayah Laila tentang orang gila ini akhirnya membuatnya sadar. Ia pun memerintahkan pasukannya untuk mundur dan segera meninggalkan desa itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada Majnun.
Laila semakin merana dalam penjara kamarnya sendiri. Satu-satunya yang bisa ia nikmati adalah berjalan-jalan di taman bunganya. Suatu hari, dalam perjalanannya menuju taman, Ibn Salam, seorang bangsawan kaya dan berkuasa, melihat Laila dan serta-merta jatuh cinta kepadanya. Tanpa menunda-nunda lagi, ia segera mencari ayah Laila. Merasa lelah dan sedih hati karena pertempuran yang baru saja menimbulkan banyak orang terluka di pihaknya, ayah Laila pun menyetujui perkawinan itu.
Tentu saja, Laila menolak keras. Ia mengatakan kepada ayahnya, “Aku lebih senang mati ketimbang kawin dengan orang itu.” Akan tetapi, tangisan dan permohonannya tidak digubris. Lantas ia mendatangi ibunya, tetapi sama saja keadaannya. Perkawinan pun berlangsung dalam waktu singkat. Orangtua Laila merasa lega bahwa seluruh cobaan berat akhirnya berakhir juga.
Akan tetapi, Laila menegaskan kepada suaminya bahwa ia tidak pernah bisa mencintainya. “Aku tidak akan pernah menjadi seorang istri,” katanya. “Karena itu, jangan membuang-buang waktumu.
Carilah seorang istri yang lain. Aku yakin, masih ada banyak wanita yang bisa membuatmu bahagia.” Sekalipun mendengar kata-kata dingin ini, Ibn Salam percaya bahwa, sesudah hidup bersamanya beberapa waktu larnanya, pada akhirnya Laila pasti akan menerimanya. Ia tidak mau memaksa Laila, melainkan menunggunya untuk datang kepadanya.
Ketika kabar tentang perkawinan Laila terdengar oleh Majnun, ia menangis dan meratap selama berhari-hari. Ia melantunkan lagu-Iagu yang demikian menyayat hati dan mengharu biru kalbu sehingga semua orang yang mendengarnya pun ikut menangis. Derita dan kepedihannya begitu berat sehingga binatang-binatang yang berkumpul di sekelilinginya pun turut bersedih dan menangis. Namun, kesedihannya ini tak berlangsung lama, sebab tiba-tiba Majnun merasakan kedamaian dan ketenangan batin yang aneh. Seolah-olah tak terjadi apa-apa, ia pun terus tinggal di reruntuhan itu. Perasaannya kepada Laila tidak berubah dan malah menjadi semakin lebih dalam lagi.
Dengan penuh ketulusan, Majnun menyampaikan ucapan selamat kepada Laila atas perkawinannya: “Semoga kalian berdua selalu berbahagia di dunia ini. Aku hanya meminta satu hal sebagai tanda cintamu, janganlah engkau lupakan namaku, sekalipun engkau telah memilih orang lain sebagai pendampingmu. Janganlah pernah lupa bahwa ada seseorang yang, meskipun tubuhnya hancur berkeping-keping, hanya akan memanggil-manggil namamu, Laila”.
Sebagai jawabannya, Laila mengirimkan sebuah anting-anting sebagai tanda pengabdian tradisional. Dalam surat yang disertakannya, ia mengatakan, “Dalam hidupku, aku tidak bisa melupakanmu barang sesaat pun. Kupendam cintaku demikian lama, tanpa mampu menceritakannya kepada siapapun. Engkau memaklumkan cintamu ke seluruh dunia, sementara aku membakarnya di dalam hatiku, dan engkau membakar segala sesuatu yang ada di sekelilingmu” . “Kini, aku harus menghabiskan hidupku dengan seseorang, padahal segenap jiwaku menjadi milik orang lain. Katakan kepadaku, kasih, mana di antara kita yang lebih dimabuk cinta, engkau ataukah aku?.
Tahun demi tahun berlalu, dan orang-tua Majnun pun meninggal dunia. Ia tetap tinggal di reruntuhan bangunan itu dan merasa lebih kesepian ketimbang sebelumnya. Di siang hari, ia mengarungi gurun sahara bersama sahabat-sahabat binatangnya. Di malam hari, ia memainkan serulingnya dan melantunkan syair-syairnya kepada berbagai binatang buas yang kini menjadi satu-satunya pendengarnya. Ia menulis syair-syair untuk Laila dengan ranting di atas tanah. Selang beberapa lama, karena terbiasa dengan cara hidup aneh ini, ia mencapai kedamaian dan ketenangan sedemikian rupa sehingga tak ada sesuatu pun yang sanggup mengusik dan mengganggunya.
Sebaliknya, Laila tetap setia pada cintanya. Ibn Salam tidak pernah berhasil mendekatinya. Kendatipun ia hidup bersama Laila, ia tetap jauh darinya. Berlian dan hadiah-hadiah mahal tak mampu membuat Laila berbakti kepadanya.. Ibn Salam sudah tidak sanggup lagi merebut kepercayaan dari istrinya. Hidupnya serasa pahit dan sia-sia. Ia tidak menemukan ketenangan dan kedamaian di rumahnya. Laila dan Ibn Salam adalah dua orang asing dan mereka tak pernah merasakan hubungan suami istri. Malahan, ia tidak bisa berbagi kabar tentang dunia luar dengan Laila.
Tak sepatah kata pun pernah terdengar dari bibir Laila, kecuali bila ia ditanya. Pertanyaan ini pun dijawabnya dengan sekadarnya saja dan sangat singkat. Ketika akhirnya Ibn Salam jatuh sakit, ia tidak kuasa bertahan, sebab hidupnya tidak menjanjikan harapan lagi. Akibatnya, pada suatu pagi di musim panas, ia pun meninggal dunia. Kematian suaminya tampaknya makin mengaduk-ngaduk perasaan Laila. Orang-orang mengira bahwa ia berkabung atas kematian Ibn Salam, padahal sesungguhnya ia menangisi kekasihnya, Majnun yang hilang dan sudah lama dirindukannya.
Selama bertahun-tahun, ia menampakkan wajah tenang, acuh tak acuh, dan hanya sekali saja ia menangis. Kini, ia menangis keras dan lama atas perpisahannya dengan kekasih satu-satunya. Ketika masa berkabung usai, Laila kembali ke rumah ayahnya. Meskipun masih berusia muda, Laila tampak tua, dewasa, dan bijaksana, yang jarang dijumpai pada diri wanita seusianya. Semen tara api cintanya makin membara, kesehatan Laila justru memudar karena ia tidak lagi memperhatikan dirinya sendiri. Ia tidak mau makan dan juga tidak tidur dengan baik selama bermalam-malam.
Bagaimana ia bisa memperhatikan kesehatan dirinya kalau yang dipikirkannya hanyalah Majnun semata? Laila sendiri tahu betul bahwa ia tidak akan sanggup bertahan lama. Akhirnya, penyakit batuk parah yang mengganggunya selama beberapa bulan pun menggerogoti kesehatannya. Ketika Laila meregang nyawa dan sekarat, ia masih memikirkan Majnun. Ah, kalau saja ia bisa berjumpa dengannya sekali lagi untuk terakhir kalinya! Ia hanya membuka matanya untuk memandangi pintu kalau-kalau kekasihnya datang. Namun, ia sadar bahwa waktunya sudah habis dan ia akan pergi tanpa berhasil mengucapkan salam perpisahan kepada Majnun. Pada suatu malam dimusim dingin, dengan matanya tetap menatap pintu, ia pun meninggal dunia dengan tenang sambil bergumam, Majnun…Majnun. .Majnun.
Kabar tentang kematian Laila menyebar ke segala penjuru negeri dan, tak lama kemudian, berita kematian Lailapun terdengar oleh Majnun. Mendengar kabar itu, ia pun jatuh pingsan di tengah-tengah gurun sahara dan tetap tak sadarkan diri selama beberapa hari. Ketika kembali sadar dan siuman, ia segera pergi menuju desa Laila. Nyaris tidak sanggup berjalan lagi, ia menyeret tubuhnya di atas tanah. Majnun bergerak terus tanpa henti hingga tiba di kuburan Laila di luar kota . Ia berkabung dikuburannya selama beberapa hari.
Ketika tidak ditemukan cara lain untuk meringankan beban penderitaannya, per1ahan-lahan ia meletakkan kepalanya di kuburan Laila kekasihnya dan meninggal dunia dengan tenang. Jasad Majnun tetap berada di atas kuburan Laila selama setahun. Belum sampai setahun peringatan kematiannya ketika segenap sahabat dan kerabat menziarahi kuburannya, mereka menemukan sesosok jasad terbujur di atas kuburan Laila. Beberapa teman sekolahnya mengenali dan mengetahui bahwa itu adalah jasad Majnun yang masih segar seolah baru mati kemarin. Ia pun dikubur di samping Laila. Tubuh dua kekasih itu, yang kini bersatu dalam keabadian, kini bersatu kembali.
Konon, tak lama sesudah itu, ada seorang Sufi bermimpi melihat Majnun hadir di hadapan Tuhan. Allah swt membelai Majnun dengan penuh kasih sayang dan mendudukkannya disisi-Nya.Lalu, Tuhan pun berkata kepada Majnun, “Tidakkah engkau malu memanggil-manggil- Ku dengan nama Laila, sesudah engkau meminum anggur Cinta-Ku?”
Sang Sufi pun bangun dalam keadaan gelisah. Jika Majnun diperlakukan dengan sangat baik dan penuh kasih oleh Allah Subhana wa ta’alaa, ia pun bertanya-tanya, lantas apa yang terjadi pada Laila yang malang ? Begitu pikiran ini terlintas dalam benaknya, Allah swt pun mengilhamkan jawaban kepadanya, “Kedudukan Laila jauh lebih tinggi, sebab ia menyembunyikan segenap rahasia Cinta dalam dirinya sendiri.”
Wa min Allah at Tawfiq
Diambil dari Negeri Sufi ( Tales from The Land of Sufis )
Tentang Penulis Laila Majnun, Syaikh Sufi Mawlana Hakim Nizhami qs :
Syaikh Hakim Nizhami qs merupakan penulis sufi terkemuka diabad pertengahan karena dua roman cinta yang menyayat hati, yaitu Laila & Majnun serta Khusrau & Syirin. Kisah sedih Laila & Majnun , dimana Majnun yang berarti “Tergila-gila akan Cinta”, karena cintanya yang tak sampai pada Laila, akhirnya membuatnya gila. Kisah cinta ini dibaca selama berabad-abad, ratusan tahun jauh sebelum Romeo & Julietnya Wiliam Shakespeare sehingga Kisah Laila & Majnun terkenal sebagai kisah cintanya Persia .
Syaikh Nizhami qs adalah seorang Syaikh Sufi, dan yang dimaksud “kekasih” dalam berbagai kisahnya sesungguhnya adalah perwujudan Allah swt. Syaikh Nizhami hidup dari tahun 1155 M – 1223 M, beliau lahir dikota Ganje di Azerbaijan. Ia telah menempuh jalan sufi semenjak masa mudanya, dan ia diajar oleh Nabi Khidir as, Sang Pembimbing Misterius dan ia dilindungi 99 Nama Allah Yang Maha Indah ( Asmaul Husna).
Syaikh Nizhami qs sangat menguasai berbagai macam ilmu, seperti matematika, filsafat, Hukum Islam, dan kedokteran. Banyak karyanya merupakan pelajaran tersembunyi bagi pemeluk tariqah sufi dan penempuh jalan spiritual. Karya Syaikh Nizhami qs terkenal karena bahasanya yang halus. Karya Laila dan Majnun sebenarnya berbentuk sajak berirama sebanyak 4500 syair sajak, yang dikenal dengan sebutan Matsnawi. Sebagaimana lazimnya terjadi pada para Syaikh Sufi, yang tertinggal dari Syaikh Nizhami qs adalah ajaran-ajaran sufi yang sangat tinggi.