Rabu, 19 Desember 2012

Aku disiksa


Assalamu’alaikum wr.wb

Bismillah...
Apa yang kau rasakan jika orang yang kau cintai meremehkanmu, meragukanmu, menaruh dugaan bahwa kau tak mampu, bahkan mengataimu dengan sebutan tidak cerdas, terkadang malah lebih menyakitkan daripada kata “dasar bodoh!”. Sakitkah hatimu?
Jika aku menjadi dirimu, jari-jari yang mewakili menulis kata-kata menjadi kalimat kemudian menjadi paragraf ini akan bersaksi bahwa hati dan jiwaku tentu akan sakit.
Dalam pengertianku orang yang paling sering disakiti adalah orang yang paling disayangi. Orang yang menyayangi itu mungkin merasa berhak menyakiti orang yang disayanginya. Atas dasar apa? Aku mencoba menebak-nebak. Mungkin karena merasa sudah memberikan banyak hal kepada yang disayangi. Mungkin karena hilangnya kekhawatiran akan timbulnya kecewa atau perasaan tersiksa dari yang disayangi. Mungkin karena sudah bosan. Mungkin karena sudah tidak peduli. Mungkin memang ingin menyiksa. Atau karena ingin mencari gara-gara saja agar bisa mengakhiri hubungan—bagi yang berpacaran.  Kita sebut aja pihak yang merasa tersiksa ini dengan “korban”.
Penyiksaan dalam cinta yang dirasakan oleh korban pun bisa terjadi dalam tiga konteks. Pertama, dalam keluarga. Kedua, dalam hubugan pernikahan atau pendekatan(baca: pacaran). Ketiga, dalam persahabatan. Kasus yang terjadi pun tidak hanya satu dua macam. Cukup banyak macamnya. Mulai dari merasa terkekang, merasa terlalu diatur-atur, karena mendengar kata-kata kasar yang menyakitkan atau karena mengalami kekerasan fisik.
Dalam hal ini aku mencoba melihat dengan cara lain. Lagi-lagi aku menduga, bagaimana kalau penyiksaan itu disikapi terlalu dramatis oleh korban. Padahal kenyataannya tidak terlalu berlebihan. Mungkin seperti orang jatuh cinta, membuat ilusi bahwa itu menyakitkan, padadal biasa saja. Mungkin memang korban itu salah, tapi tidak merasa.
Tapi dugaanku itu tidak mutlak bahwa itu benar. Sekali lagi, itu hanyalah dugaanku. Tapi jika kenyataannya memang korban mendapatkan perlakuan tidak baik dari orang yang disayanginya, tentu tidak masalah. Gampangnya, putuskan saja secepatnya mau apa dan bagaimana. Ajak bicara baik-baik. Lebih bagus lagi jika meminta peran orang ketiga untuk menjadi pendamping  dan saksi selama proses pertemuan tersebut. Namun, pikirkanlah lebih dalam kalau masih berlaku kata-kata “aku rasa” atau “aku merasa”. Karena kata-kata itu memiliki kesan bahwa kesaksian yang disampaikan belum tentu benar, karena masih menyangkut perasaan saja belum menjadi kenyataan. Karena perasaan bisa saja salah bukan? Pastikan bahwa yang terjadi adalah nyata dan bukan hanya perasaan.
Kewajiban mencintai itu, apapun definisinya, dalam tulisan ini aku simpulkan dengan, saling berkomunikasi, mendengarkan, memahami, menjaga keharmonisan, menghormati, berkasih sayang, dan bertujuan sama: menuju kebaikan. Dalam hubungan antar manusia pun demikian. Baik orang tua-anak, kakak-adik, sapasang kekasih, sahabat  atau yang menikah. Semuanya memiliki hak mendapatkan pelakuan tadi dan berkewajiban melaksanakan kewajiban tersebut. Jika penyiksaan tetap terjadi, alangkah bijaksananya jika melihat pada diri sendiri terlebih dahulu. Kenapa hal itu bisa terjadi  dan apakah sudah mengaplikasikan kepada orang yang disayangi atau belum. Jangan-jangan selama ini kita juga sering menyakiti perasaan orang yang mencintai kita.
Semua yang terjadi pasti ada penyebabnya.  Jika kita merasa menjadi korban—ini yang sering aku lakukan, jangan melihat diri sebagai yg teraniaya saja. Lihat juga kenapa hal itu terjadi.
Lagi-lagi, semua yang terjadi dalam drama penyiksaan dan kekerasaan tidak hanya sebatas yang terlihat bahwa aku disiksa maka aku adalah korban. Dalam sebuah kejadian selalu ada hikmah. Bisa saling mengerti, mampu memahami, lebih bersabar, dapat saling berkasih sayang dan terus melanjutkan hidup bersama yang disayangi tentu harapan semua orang bukan? Jika pertemuan sudah dilakukan, sudah dibicarakan semua unek-uneknya, hasil akhirnya tidak harus berpisah kan? Apalagi cinta dalam keluarga. Aku rasa tidak bijaksana kalau mengusir anggota keluarga yang dulu menyiksa kita.
Cinta itu rahmat—begitu kata pak Mario Teguh. Maka jadikanlah ia salah satu kebahagiaan dikehidupanmu bersama orang-orang yang kau cintai.

Wassalamu'alaikum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar