Kamis, 01 Maret 2012

Yang Salah Memang Bukan Rok Mini Tapi Pemakainya

Sekumpulan perempuan kurang iman membentangkan spanduk bertuliskan, 'My rok is my right' dan 'Don't tell us how to dress Tell them not to rape', ada pula yang berteriak: ”jangan salahkan rok mini kami, salahkan otaknya”. Demikian yang terlihat di Bundaran HI hari ini dalam rangka demo menentang ucapan gubernur DKI Jakarta yang dianggap menyalahkan para wanita berpakaian minim sehingga memicu terjadinya pemerkosaan di angkot yang marak belakangan ini.
Sekilas memang suara-suara ini bisa dimaklumi sebagai reaksi dari pernyataan sang gubernur. Tapi kalau mau dicermati lebih jauh sebenarnya ada hidden agenda dibalik demo semacam ini yaitu kampanye liberalisme berselubung pembelaan terhadap hak asasi. Apalagi terungkap dalam spanduk berbahasa Inggris itu yang kalau diartikan, ”Rokku adalah hakku” dan ”Jangan ajari kami bagaimana berpakaian, ajari saja mereka supaya tidak memperkosa”. Pemerkosa itu memang jahanam, bajingan, brengsek, bangsat, kampret putra kalong dan makian lainnya, tapi bukan berarti pakai rok mini jadi sebuah kebenaran.
Perumpamaan mereka sama dengan orang yang menaruh sepeda motor tanpa dikunci di jalanan lalu motornya diambil pencuri. Kemudian datanglah pejabat mengatakan hendaknya motor dikunci lalu ditaruh di tempat yang aman. Eh, yang motornya dicuri malah protes, ”Jangan ajari kami cara menyimpan motor, ajari mereka supaya tidak mencuri”. Sama bukan permisalannya? Kalau sudah sama berarti anda bisa paham dimana letak salahnya. Apakah dengan menyalahkan pemilik motor yang menaruh motor sembarang berarti kita membenarnya tindakan si pencuri? Tentu saja tidak.
Memakai rok mini di tempat umum jelas sebuah kesalahan baik dilakukan oleh pria maupun wanita muslim. Kalau dilakukan oleh pria maka tak perlu repot mencari dalil agama untuk membuktikan kesalahannya. Sedangkan kalau dipakai oleh wanita barulah memerlukan dalil agama untuk membuktikannya, dan itu sudah cukup jelas tak perlu dibahas. Sebagai muslim kita yakini bahwa Tuhan mengajarkan para wanita muslimah untuk menutup aurat. Nah, berani ngga para wanita sekuler ini mengatakan kepada Tuhan, ”Hey Tuhan, jangan ngajari kami cara berpakaian, hukum saja pemerkosanya”?!

Ada beberapa golongan dineraka :
[1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan
[2] para wanita yg berpakaian tp telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128)
An Nawawi dalam Syarh Muslim ketika menjelaskan hadits di atas mengatakan bahwa ada beberapa makna kasiyatun ‘ariyatun (berpakaian tapi telanjang).

Makna pertama: wanita yang mendapat nikmat Allah, namun enggan bersyukur kepada-Nya.

Makna... kedua: wanita yang mengenakan pakaian, namun kosong dari amalan kebaikan dan tidak mau mengutamakan akhiratnya serta enggan melakukan ketaatan kepada Allah.

Makna ketiga: wanita yang menyingkap sebagian anggota tubuhnya, sengaja menampakkan keindahan tubuhnya. Inilah yang dimaksud wanita yang berpakaian tetapi telanjang.

Makna keempat: wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya telanjang. (Lihat Syarh Muslim, 9/240)
Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Makna kasiyatun ‘ariyatun (berpakaian tapi telanjang) adalah para wanita yang memakai pakaian yang tipis yang menggambarkan bentuk tubuhnya, pakaian tersebut belum menutupi (anggota tubuh yang wajib ditutupi dengan sempurna). Mereka memang berpakaian, namun pada hakikatnya mereka telanjang.” (Jilbab Al Mar’ah Muslimah, 125-126)
Lalu apakah wanita non muslim punya hak untuk itu? Masalah membangkitkan gairah bukan lagi masalah agama, tapi masalah karakter manusia. Yang namanya laki-laki tentu akan terbangkit birahi bila melihat yang seksi. Tak peduli apakah dia orang biasa ataukah ulama, semuanya sama selama orientasi seksualnya normal adanya.
Pernah terjadi dialog antara seorang ulama dengan orang sekuler di dalam kereta. Si sekuler mengatakan apa salahnya perempuan buka aurat, yang salah adalah pikiran pria yang tak mampu mengendalikan diri. Lalu si ulama mengeluarkan jeruk nipis dan memotongnya di hadapan si sekuler. Terlihat bagaimana si sekuler ini menahan liurnya. Si ulama ini bertanya, ”Mengapa kamu tidak bisa menahan air liurmu saat ku potong jeruk ini?” Dia menjawab, ”Sudah menjadi fitrahnya air liur akan berair melihat sesuatu yang masam”. Si Ulama menimpali, ”Begitu pula fitrah pria akan terangsang kalau melihat keseksian di hadapannya. Kalau dipancing terus lama-lama imannya akan goyah juga. Apalagi yang memang tidak beriman.” Tentu bukan salah rok mininya. Karena rok mini boleh saja dipakai kalau di hadapan suami.
Menyalahkan rok mini bukan berarti mencari pembenaran untuk tindak perkosaan, tapi adanya otak porno juga tak bisa dilepaskan dari pancingan pihak-pihak yang sengaja mempertunjukkan keseksian di hadapan si otak porno tadi. Lalu coba tanya kepada para pemakai rok mini, apa tujuannya memakai pakaian seperti itu? Tentu ada yang ingin ditunjukkan bukan? Kalau tidak ada yang ingin ditunjukkan bukankah lebih baik pakai celana panjang (yang tidak ketat), lebih bebas bergerak dan tak risih dipandang orang atau rok panjang yang sampai menutupi mata kaki.
Aneh juga sikap sebagian wanita yang suka pamer anggota tubuh, di saat laki-laki tentunya malu pakai celana pendek naik kendaraan umum atau pergi ke kantor (kecuali Bob Sadino). Seolah mereka bangga mempertunjukkan bagian seksi itu kepada para pria, kalau tidak bangga lalu apa dong tujuannya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar